Selasa, 28 Januari 2020

 


Celotehan Pena

Dalam puing-puing dedaunan.
Terbawa lamunan nan jauh ke sukma , menebar harum dalam setiap makna.
Jauh ku arungi arti dari sebuah perjumpaan, dalam butiran do’a.
Mencoba untuk bangkit dan terus melangkah tuk mencarinya-sebuah perjumpaan.
Denyut nadi tak bisa berhenti.
Berhenti dalam goresan dan peluh rasa ingin tahu.
Dari sebuah titik menjelmalah menjadi garis yang berlalu-lalang.
Itulah seumpamanya.

Berawal dari sebuah perjumpaan yang berkembang menjadi kebersamaan,
Yap…lebih tepatnya sebuah keakraban.
Lajur kehidupan memang di takdirkan untuk berputar, begitu pula alur cerita ini-perjumpaan.
Sekian Lama tinggal di bukit suka.

Kini aku terjatuh, jatuh ke dalam lembah duka yang penuh kesakitan.
Dari rasa sakit aku mencoba tepis rasa yang tak bersahabat itu-duka dan sakit.
Tertatih, tapi bukan seras pedih
Selayaknya mentari yang selalu menyinari, aku masih terus berfikir.
Akankah sebuah perjumpaan akan menemui sebuah perpisahan?
Suara hati mengerutkan fikiranku untuk terus berlalu membawa angan.

Malam berlalu…
Angin pun ikut terbawa oleh suasana hatiku , angin bagaikan bahagiaku.
Tatkala suara petir membentak jantungku menghentikan serasa denyut nadi ini,petir bagaikan dukaku.
Hingga petir menurunkan titahnya pada hujan yang turun, hujan bagaikan tangisanku.
Bagian dari suasana hatiku.

Hujan berhenti…Tahukah kau bintang…?
Tersadar akan ini, tak perlu terluka dalam nestapa, bahagiaku dengan manja.
Aku merasa cukup dengan semua itu-perjumpaan dan keakraban.
Walau manakala kata “perpisahan" mengglegar di telingaku, aku mencoba tuk tetap tersenyum walau dalam paksaan.

Namun…Kini ku menyadari…
Di dunia ini…
Sebuah perjumpaan sangatlah mustahil tuk tetap abadi,
Begitu pula sebaliknya…
Sebuah perpisahan juga sangat mustahil tuk tetap abadi.
Awal adalah akhir Dan akhir adalah awal.
Semua yang berawal adalah akhir Dan semua yang berakhir adalah awal


Sumber : https://www.popbela.com/relationship/single/zahra-ramadhani

 

Di Kala Senja Tiba?


Termenung melihat kearah hamparan lautan nan biru
Angin semilir yang datang bergilir
Kepakan sayap segerombolan burung-burung hilir mudik mencari suaka baru
Goresan garis jingga itu mulai terlihat
Datang bersamaan dengan rona merah yang merekah
Langit biru cerah perlahan mulai bergegas
Siap berganti dengan sang malam
Di kala senja tiba
Deburan ombak semakin pasang menunjukkan geloranya
Anak-anak kecil berjiwa suci
Dengan riang mengiringi tenggelamnya mentari
Awan-awan putih sejenak menyembunyikan diri
Memberi kesempatan untuk si jingga menari
Lambaian pohon kelapa
Sebagai tanda perpisahan kepada sang mentari
Tidak..
Tidak akan lama..
Si senja yang hanya sementara
Sementara menghias cakrawala
Tak ada sekejap mata
Ia pun perlahan undur diri
Goresan jingga yang menyinari bibir pantai
Perlahan mulai tenggelam
Tenggelam..
Hilang..
Lenyap ditelan ujung samudera
Keindahan yang tak berlangsung lama
Janganlah ditangisi
Karena esok kita berjumpa lagi
Berjumpa dengan senja yang  menghanyutkan


Sumber :  https://www.romadecade.org/puisi-tentang-alam

 "Hujan"

Saat hujan datang bertamu
Hanya dua pilihan untukmu
Bergelimang rindu
Atau mengenang sendu.
***
Entah…. Jangankan malam yang gelap
Hujan yang deraspun
Serasa begitu indah
Jika kita sedang Bersama.
***
Aku berharap hujan ini segera reda, agar rindu ini tak terlalu dalam mengorek luka.
***
Biarkan derai hujan semakin deras, hingga ku dapat menitipkan rindu lewat air yang ‘kan mengalir ke hatimu.
***
Aku cemburu pada hujan dan senja.
Kenapa mereka yang selalu dijadikan puisi?
Apakah aku kurang menarik?
***
Langit menjatuhkan bulir-bulir yang sedih, yang sedikit, yang sakit, yang tak sungguh-sungguh menghapus dosa, apalagi kenangan.
***
Aku penggal hujan dengan lancang, lalu aku berikan kepadamu untuk menghabisi sepi. Sementara kau pongah; ingin meludahi wajahku yang dikucuri rindu sendiri.
***
Hujan yang jatuh malam ini meletup keras di atas kepala Menyegarkan ingatan tentangmu. Seorang yang kusebut wanita Yang kini hilang membawa kenangan yang tak mampu aku lupa.
***
Sunyi derai langkah hujan
Usik keheningan malam
Gugah kenangan kampung halaman
Terbayang wajah ibu nan ayu rupawan.
***
Aku masih merindumu sebagai hujan yang jatuh di atap rumbia pada pondok huma di musim tanam. Aku masih menunggumu sebagai angin bertiup di padang ilalang yang kemudian melesap di buhul-buhul malam.
***
Malam ini.. Cukup hanya hujan yang menelanjangi rinduku, untuk kamu.
***
Di dinding ini telah kutitip seribu langit jika hujan aku sembunyi jika panas aku berteduh dari kejarannya yang lepas.
***
Tak ada pelangi Setelah hujan sore ini… Tinggal jantera kenangan dalam hening Sumbang dan tiada bermakna Basah dan juga lekat.
***
Di mata hujan kita rata sama ia yang maha perihal waktu: mengingatkan pada yang lalu memperlihatkan pada yang baru menyadarkan pada yang sekarang; dia tak lagi mengharapkanmu datang.
***
Wajahku berlukis lumpur pada hujan yang Kau turunkan aku berlarian hendak membasuh dan membasahkan jiwa.
***
Hujan yang melanda dalam benak sepi, riuh dan teguh pada setiap rinai pagi. Kuharap bola matamu berpijar kembali dalam lembut warna pelangi.

***
Ide yang berserakan sepanjang perjalanan
Daun yang digugurkan angin
Batu yang dikandaskan hujan
Juga kau yang meremukkan hati
Tak pernah tuntas menjadi cerita
Kugadaikan jiwa
Demi membatik aksara
Namun percuma
Lelahku mengoyak akhir cerita.
***
Sumber : https://titikdua.net/kata-kata-hujan/

Kamis, 23 Januari 2020


"Senja"

Karena senja tak pernah memintamu menunggu.
***
Pada akhirnya senja hanya semakin menjauh.
Namun ia tak pernah sanggup melenyapkan cinta yang paling diam dari pandangan mata, apalagi hati.
Lalu aku hanya menunggunya saat magrib tiba.
***
Senja tak pernah salah. Hanya kenanganlah yang kadang membuatnya basah. Dan pada senja, akhirnya kita mengaku kalah.
***
Senjaku, mulai menepi. Ke peraduannya.
***
Sekalipun hanya sejenak, Namun senja pergi meninggalkan rasa hidup ini amat teramat singkat. Titipkanlah asa.
***
Parade
Senja
Menggila.
***
Malam membuatku ingin menulis rindu, bukan untuk kau baca. Karena rindu yang sesungguhnya telah kau tinggal di tepian senja.
***
Lantas, ku lihat segelintir Jingga
Melintas di hadapanku.
***
Maaf. Kisah kita, sekarang sudah berbeda. Jadi jangan samakan. Dengan keadaan kita yang sekarang.
***
Saat itu, Hujan gerimis di kala Sang Dewi malam beranjak. Menjadi saksi.
***
Bukan menolak. Hanya belum saatnya saja.
***
Ingat. Setia itu memang sulit, tapi lihatlah Jingga. Selalu menggenapkan warna nya, demi senja di setiap harinya.
***
Jarak. Waktu. Cinta. Tunggu aku kembali.
***
Terimakasih. Karena sudah kau pegang erat sukmaku di sana. Sampai bertemu (lagi).
***
Kita memang ditakdirkan untuk jauh raga oleh jarak. Tapi Kita juga ditakdirkan untuk melihat Senja yang sama tanpa jarak.
***
Tanpamu aku serupa daun kering yang dilepaskan ranting, terbawa angin tanpa arah dan tanpa ingin.
***
Mungkin kelak akan ada senja yang sepi untukmu, satu persatu kenangan mulai kau ingat, dan tersenyum ketika giliranku lewat.
***
Senja mengajarkan bahwa sesuatu yang berakhir, tak selamanya tak indah. Karena senja termasuk salah satu suguhan ternikmat yang disajikan.
***
Senja tak pernah membenci awan kelabu yang sering menutupinya.
Berhenti menjadi pecandu senja. Tidak ada apa-apa di sana kecuali romantisme berlebih tentang cinta yang tak sempat kau raih.
***
Tak salah lagi aku selalu mengagumi senja. Senja cukup lapang untuk menampung gelap dan cahaya juga duka dan suka secara bersamaan.
***
Biar lelah
Tapi dia, tetap indah.
***
Senjaku; Selalu bermakna Apapun itu, Senja tak pernah memintaku, tuk menunggu. Itu saja.
***
Senja. Perpaduan yang sungguh indah bagi alam semesta.
  Sumber: https://titikdua.net/kata-kata-senja/

Sejarah Singkat Kota Palembang


Kota Palembang adalah ibu kota provinsi Sumatra Selatan. Palembang adalah kota terbesar kedua di Sumatra setelah Medan. Kota dengan luas wilayah 400,61 km²[4] ini dihuni oleh lebih dari 1,6 juta penduduk pada 2018. Diprediksikan pada tahun 2030 mendatang kota ini akan dihuni 2,5 Juta orang. Pembangunan LRT (kereta api layang), dan rencana pembangunan sirkuit motor GP di kawasan Jakabaring dan sirkuit F1 di kawasan Tanjung Api-Api, merupakan proyek pengembangan Kota Palembang terkini.[butuh rujukan][5]
Sejarah Palembang yang pernah menjadi ibu kota kerajaan bahari Buddha terbesar di Asia Tenggara pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya, yang mendominasi Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9 juga membuat kota ini dikenal dengan julukan "Bumi Sriwijaya". Berdasarkan prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang sebelah barat Kota Palembang yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota pada tanggal 16 Juni 688 Masehi menjadikan kota Palembang sebagai kota tertua di Indonesia. Di dunia Barat, kota Palembang juga dijuluki Venice of the East ("Venesia dari Timur"). Saat ini Wali Kota Palembang dijabat oleh H. Harnojoyo, S.Sos

 Asal usul nama Palembang mempunyai beberapa versi. Salah satu versi mengaitkan Palembang dengan kata dalam bahasa Jawa, "limbang", yang berarti membersihkan biji atau logam dari tanah atau benda-benda luar lain. Pemisahan dilakukan dengan bantuan alat berupa keranjang kecil untuk mengayak tanah berkandungan logam atau biji di aliran sungai. "Pa" adalah kata depan yang dipakai orang Jawa untuk menunjuk suatu tempat berlangsungnya usaha atau keadaan. Versi ini terkait erat dengan peran Palembang pada masa lalu sebagai tempat mencuci emas dan biji timah. Versi lain menghubungkan Palembang dengan kata "lemba", yang berarti tanah yang dihanyutkan air ke tepi


  

Kota ini dianggap sebagai salah satu pusat dari kerajaan Sriwijaya,[8] Serangan Rajendra Chola dari Kerajaan Chola pada tahun 1025, menyebabkan kota ini hanya menjadi pelabuhan sederhana yang tidak berarti lagi bagi para pedagang asing.[8]
Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang.

Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan disebutkan seorang tokoh dari Kediri yang bernama Arya Damar sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343.[11]
Pada awal abad ke-15, kota Palembang diduduki perompak Chen Zuyi yang berasal dari Tiongkok. Armada bajak laut Chen Zuyi kemudian ditumpas oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1407.

 Kemudian sekitar tahun 1513, Tomé Pires seorang apoteker Portugis menyebutkan Palembang,[13] telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah dikuasai oleh Portugis.


Palembang muncul sebagai kesultanan pada tahun 1659 dengan Sri Susuhunan Abdurrahman sebagai raja pertamanya.[14] Namun pada tahun 1823 kesultanan Palembang dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda.[15] Setelah itu Palembang dibagi menjadi dua keresidenan besar dan permukiman di Palembang dibagi menjadi daerah Ilir dan Ulu.


Pada tanggal 27 September 2005, Kota Palembang telah dicanangkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai "Kota Wisata Air" seperti Bangkok di Thailand dan Phnom Penh di Kamboja. Tahun 2008 Kota Palembang menyambut kunjungan wisata dengan nama "Visit Musi 2008".
Palembang menjadi salah satu kota pelaksana pesta olahraga olahraga dua tahunan se-Asia Tenggara yaitu SEA Games XXVII Tahun 2011.
Pada tahun 2018, Palembang dan Jakarta menjadi tuan rumah olimpiade se-Asia yaitu Asian Games 2018.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Palembang